CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK MENJUAL DIRI,  Hasrat-Bispak23 Seluruhnya orang didalamnya harus berusaha dan berkorban supaya tidak tersisih, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang gak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, tetapi berarti tidak cuman itu. Denok pun mempunyai arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, sebab beliau sendiri waktu muda ialah seorang penari, dan masih ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak miliki banyak hutang karena sebab edan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati sebab Bapak telah tak ada, tetapi juga kebingungan lantaran beberapa waktu sehabis Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil alih broker judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami gak punyai tujuan tempat, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima sebab dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, lawan sangat banyak. Selanjutnya selesai cukuplah lama mengamati beragam peluang yang ada, Simbok memilih untuk manfaatkan ketrampilan kami. Dengan modal baju dan peralatan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awali kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota lagi bersiap ujian akhir SMA atau jalani tahun awal kuliah, serta yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan baru, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, semata-mata cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan beberapa lembar rupiah untuk melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah pun cari uang melalui cara semacam ini, paling-paling yang kami peroleh hanya buat makan kami berdua, satu atau 2x dalam hari itu. Serta gak di seluruhnya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang mau bayar, terkadang kami jadi ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, berasal dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami dari sana selalu disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati pun kerapkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami kurang santun umpamanya dengan diselinapkan ke busana kami. Apa saya dan Simbok memanglah memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok  sejak dulu terus membimbing serta mengingati saya buat menjaga badan walaupun melalui cara simple, jadi biarpun sawo masak, kulit saya masih tetap mulus dan tidak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul pula sich kalaupun disebut saya montok. Gak tahu mengapa, biarpun rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya bisa-bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya selalu khawatir dengan kemben saya tiap-tiap kali menari. Pantat saya  kuat dikarenakan dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang kira demikian. Bertanya-tanyanya, biarpun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu elok. Hingga sampai usia begitu juga beliau selalu elok. cerpensex.com Manalagi bila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok serta tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri terus berasa tidak baik lho jika tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum melihat kami menari kok segalanya omong saya elok. Saya berpikir, itu sich pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut perlu disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang udah tebal dibuat lebih tebal. Bibir pun diberikan gincu warna merah keren. Saya saat itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita harus membuat puas yang tonton."


Lambat-laun saya biasa pun memanfaatkan dandanan sesuai itu, jadi saya bikin guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, sesaat bila nikah betulan harus seperti apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, persis seperti kemben, kain batik, dan selendang. 


Tetapi benar-benar yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, tragedi tiba kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kronis. Saya kuatir, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit seusai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sesungguhnya sejak mulai ketabrak pula Simbok sudah tak ada keinginan, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga tidak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, barangkali Simbok pasang susuk, maka itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tidak mau tahu, biarkan itu menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit dan penyemayaman, malahan harus berutang kemanapun. Saya gak sanggup melaksanakan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di kontrak saja karena sangat berduka. Kemungkinan setiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok, pun kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, sebab uang telah habis dan saya pun perlu temui banyak tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kepelikan saya . Sehingga, 1 minggu sehabis Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya jadi bertemu dengan ibu yang mempunyai kontrak. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya sekedar dapat katakan maaf, dan sang ibu jadi ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, ucapnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya halangan untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH MONTOK MENJUAL DIRI


Naasnya, hari itu pasar cukup sepi, serta selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 setelah menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala dipenuhi dengan pemikiran, bagaimana tekniknya biar kelak kalaupun pulang telah memiliki cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa utang yang lain. Saat siang, saya tengah jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu hanya mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau udah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan ada di belakang. Tokonya lagi sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya mesti katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat ongkos penyemayaman Simbok… saat ini saya perlu bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya minta kembali, "Saya telah ditagih, ini hari harus ada, atau saya ditendang. Saya janji bakal balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja." WAJIB 4D


"Saya saat ini pula kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tidak dapat cukup uang ini hari untuk bayar sewaan. Jika berjualan, saya tidak mempunyai apapun, harus jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok beralih menjadi aneh… Beliau dekati saya dan memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang ngomong kamu gak miliki apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengen kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa tujuannya itu.


"Jika kamu pengin, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya butuh uang, namun apa perlu dengan langkah seperti berikut? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya tidak mempunyai opsi lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai tidak terdengaran. Bila saja gak ketutupan bedak, kemungkinan udah nampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai tergoyang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan rupanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan tidak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tak berani mengusung kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan situasi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memberikan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan menggamit tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tak sempat mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya masih kuatir. Juragan mendadak ingin ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tidak ingin ya udah," ujarnya dengan suara kurang puas.


Namun saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar seusai bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki berterus-terang ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi disimpan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tuturnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal kalinya saya serta Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melesat demikian saja tiada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu dan lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan mengungkap kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Tak boleh takut, Denok…" tukasnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih yang beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu karena sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersenggolan dengan kulit paha saya, dan saya tambah deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada jenis-jenis dari mulut saya. Tangan satunya terus nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya masih tetap nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa mestinya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya sangsi, tetapi gak tahu mengapa, saya pun kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan terus menerus lihat sekujur badan saya, sekalian memberi pujian.


"Mari donk, tidak mesti tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama